JANGAN MENCURI, MENJIPLAK, MENG-COPY-PASTE ATAU MENGGANDAKAN FF INI TANPA SEIZIN AUTHOR!
JANGAN MENJADI PLAGIAT. HARGAI KARYA ORANG LAIN DAN BE CREATIVE!
Behind His Eyes
(The Silent Touch of Marriage Side Story)
Author: Chanchan a.k.a Chandra Shinoda (chandrashinoda)
Main Cast:
- Choi Minho (Covered by Jung Yoogeun (baby SHINee))
- Kim Yong Sang (Covered by Lauren (baby MBLAQ))
- Victoria Song (F(X))
Support cast:
- Kim Jonghyun
- Kim Hyora
- Nyonya Choi
Length: Oneshot
Genre: Fantasy, friendship
Rating: G
Disclaimer: I don’t own all SHINee members, they are God’s. They belong to themselves and SM Entertainment. I’m just the owner of the story.
Kemampuan Minho di sini sebenarnya terinspirasi dari kelebihan temanku. Siapa dia? Err.., rahasia, privasi masalahnya. jadi aku buat jalan cerita di sini sesuai pengelihatan sama pengetahuannya dia juga.
Bagi yang belum baca TSTM harap baca dulu biar nyambung sama ceritanya Atau mungkin ada yang lupa sama jalan ceritanya bisa baca ulang, karena beberapa dialog berkaitan dengan part sebelumnya.
Satu lagi, di sini ada flashback yang cukup panjang. Dan flashbacknya cuma sekali. Jadi, Bacanya hati-hati ya biar nggak bingung.
So, happy reading!
***
Hari ini ia memulai pagi harinya dengan berjalan seorang diri di sepanjang koridor. Wajahnya tertunduk. Dengan satu alasan yang kuat, ia tak ingin menyilaukan matanya dengan anak-anak berkarakter yang khas dengan warna di sekitar tubuhnya. Tak aneh lagi memang, hanya saja itu terkadang mengganggu−mengganggu konsentrasi yang dikalahkan oleh rasa ingin tahunya.
“Annyeong, Minho-ya!” seseorang menyapanya. Suara lembut itu kira-kira hanya berjarak bebrapa jengkal saja darinya.
Minho mengangkat kepalanya perlahan. Sorot matanya membulat ketika melihat seorang wanita dewasa yang barusan menyapanya sedemikian lembut. Cerah, kata itu menghujani pikirannya.
“Annyeong haseyo, Victoria Seonsaengnim!” Minho membalas sapaan itu, sopan. Tubuhnya membungkuk hingga posisi kepalanya sejajar dengan pantatnya.
“Kenapa datang pagi sekali?” tanya Victoria sekedar sebagai ice breaking.Melihat Minho datang satu jam sebelum pelajaran dimulai bukan hal aneh lagi. Bocah itu punya suatu alasan dan ia tahu benar apa itu.
“Umma sibuk hari ini.” aku Minho polos. Jawaban yang selalu ia berikan. Bukan suatu kebenaran yang absolut, tapi suatu kebenaran yang layak diucapkan seseorang untuk melindungi privasinya.
“Bagaimana aku pagi ini, Minho-ya?” kali ini Victoria mengalihkan pembicaraan. Ia memang pihak yang dituntut lebih banyak bicara dalam kasus ini.
“Seperti biasa, cerah.” ucap Minho sembari memamerkan senyumnya. Jawaban yang ia berikan pun bukan sugesti atau bualan semata, melainkan berdasarkan pengelihatan istimewa yang terselip di balik kornea matanya.
Tak ada percakapan lagi. Keduanya berjalan menyusuri koridor dalam diam. Sesekali Victoria melirik makhluk kecil yang puncak kepalanya tak lebih dari pinggangnya. Anak itu, bocah yang menarik. Mungkin karakter sejenisnya tak akan dijumpai lebih dari lima kali dalam hidup ini.
-Flashback-
Victoria merapikan ujung rambutnya. Ia menutup pintu toilet perlahan. Ia siap untuk mengajar hari ini. Berhadapan dengan bocah 5 tahun membuatnya harus tahu cara tersenyum dengan tulus dan mungkin terus menerus. Sekilas ia tertarik melihat ruang terkunci di depan toilet yang dimasukinya, usang dan tampak tua. Naluri keingintahuannya mendorong kedua kakinya untuk mendekat. Ia memang sudah bekerja di sekolah ini selama 2 tahun, namun baru kali ini ia tertarik dengan pintu bergaris merah yang selalu terkunci itu
“Jangan, Seonsaengnim!” sebuah hardikan kecil mengejutkannya.
Spontan ia berhenti. Kedua bola matanya memutar, melirik sang pemilik suara, bocah laki-laki dengan ransel berwarna hitam di punggungnya.
“Jangan masuk ke sana, berbahaya!” ucap anak itu lagi, sedikit menekan nada suaranya, seolah menahan suatu ketakutan.
Victoria terdiam sesaat, mencerna kata-kata bocah laki-laki−yang merupakan salah satu anak didiknya−Choi Minho. Apa gerangan yang membuat anak itu melarangnya? Lalu, pantaskah dia menggubris perkataan seorang bocah yang bahkan mungkin belum mengenal siapa dirinya? Terlepas dari itu, ia masih belum bisa memberikan jawaban, namun tubuhnya lebih dulu memberikan sebuah respon non verbal−mundur dengan teratur dari tempat perkara.
Sekali lagi Victoria menatap anak laki-laki yang balas menatapnya bak seorang calon korban. Ia bisa menangkap ketakutan yang mengisyaratkan bahwa anak itu tak sekedar berpura-pura.
Victoria mendekati Minho, masih dengan ketertarikan dan rasa penasarannya. Ia menyentuh pundak anak itu. Getaran menjalar perlahan, menyusup dari balik saraf-saraf di ujung jarinya. Victoria mengernyitkan alisnya. Minho seolah mengetahui sesuatu. Bola mata anak itu masih tertuju pada pintu bergaris merah yang hendak dimasuki Victoria barusan.
“Ada apa, Minho-ya?” tanya Victoria, memastikan keadaan anak itu.
Minho masih terdiam. Belum berpindah posisi atau bergeser sedikitpun dari tempatnya semula.
Victoria mengikuti gerak pandang Minho. Tetap dengan hal yang tidak bisa ia artikan, ia sama sekali tak paham dengan tatapan makhluk kecil di hadapannya.
“Ada yang membuatmu takut?” Victoria melanjutkan pertanyaannya yang belum mendapatkan respon.
“Ayo ke kelas, Seonsaengnim!” akhirnya Minho mengeluarkan suara, memberikan jawaban yang sama sekali melenceng dari yang diinginkan Victoria. Ia berbalik, melangkah menuju ke ruang kelasnya.
Anak yang menarik, Victoria membatin. Ia mulai menapakkan kakinya, mengikuti bocah itu. Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya. Apa hal yang patut ia pikirkan saat ini? Anak yang istimewa atau aneh? Ya, dua-duanya. Apakah dia punya sejenis sihir atau semacamnya yang bisa membuat orang percaya dengan ucapannya? Entah apa jawabannya, namun Victoria telah membuktikannya bahwa anak itu punya suatu kelebihan.
***
“Kenapa kau makan sendirian?” Victoria menghampiri Minho yang asik melahap bekal makan siang di mejanya. “Bukankah biasanya kau bersama Yong Sang, mana dia?” lanjutnya.
“Dia ke halaman belakang, Seonsaengnim. Katanya sedang tidak mau diganggu.” jawab Minho setelah menyendok blackpapper chicken-nya. Nada bicaranya polos, namun cara pengungkapannya terdengar berbeda di telinga Victoria.
“Merah padam..,” Minho berbisik dan sukses membuat Victoria menajamkan indera pendengarannya.
“Apa maksudmu?” Victoria makin tak mengerti.
“Jika aku katakan pun anda tak akan percaya,” Minho mendesah. Bodoh sekali ia bisa kelepasan bicara seperti tadi.
Sebelah alis Victoria terangkat. Permainan apa yang menyeretnya kali ini? Benar-benar menarik, membuatnya lupa dengan profesinya sebagai seorang guru dan beralih menekuni ucapan anak TK yang seolah lebih pasti dari keputusan seorang hakim.
“Katakan saja jika itu memang mengganggumu, akan kudengarkan.” ucap Victoria meyakinkan. Ia mungkin tak tahu bisa masuk sejauh mana, namun setidaknya ia bisa membuat Minho membagi sedikit beban pikirannya.
“Warna aura Yong Sang merah padam. Dia sedang marah. Aku tak tahu pastinya, hanya saja suasana hatinya benar-benar buruk saat ini.” papar Minho datar. Wajahnya masih menunduk. Ia berhenti menyendok makanannya, tak berselera lagi.
Victoria menelan ludahnya, terasa pekat. Anak ini, jika ia bercanda ekspresi wajahnya tak seharusnya seperti itu. Gerak geriknya tak seharusnya tenang. Sepintar-pintarnya seorang anak TK merangkai kebohongan, belum pernah ia melihat yang seperti ini. Lalu untuk Yong Sang, anak itu memang terkadang jauh dari kata ceria. Ia terkenal cerdas, namun pergaulannya hanya sebatas dengan anak-anak yang duduk lima jengkal dari bangkunya. Anak itu memiliki sebuah masalah dengan keluarganya, tepatnya dengan sang ibu. Seingat Victoria, ia belum pernah bertemu dengan Ibu anak itu semenjak ia mendaftar sebagai murid di sini.
“Hei, daritadi kita bicara soal warna. Lalu, warnaku seperti apa?” Victoria mengalihkan pembicaraan, membuat Minho menatapnya dengan sepasang mata bulatnya.
“Cerah..,” ucap Minho pendek. Kedua alisnya kini mengernyit. Apa dia sedang diajak bercanda, atau malah sedang diuji?
“Jinccayo?” Victoria tersenyum lalu melanjutkan, “Jadi kau bisa melihat warna semua orang?”
Minho menggeleng. “Hanya orang-orang berkarakter saja yang memiliki itu. Aku pun belum tahu jelasnya, mungkin jika diibaratkan sebuah novel, orang-orang biasa adalah novel percintaan yang jarang mengundang penasaran kecuali penulisnya menghadirkan nuansa berbeda sementara orang-orang berkarakter ibarat novel fantasi yang sulit ditebak jalan ceritanya dan menarik minat pembaca.” pengakuan yang jujur. Pembicaraan ini mulai terasa nyaman untuknya. Karakter cerah seperti Victoria memang teman yang pas untuk diajak bicara. Dan wanita itu adalah orang ketiga yang tak menganggapnya membual setelah ayah dan ibunya.
Victoria tersenyum. Sama halnya dengan Minho, ia menikmati pembicaraan ini. “Ayo ceritakan tentang warna itu, aku tertarik mendengarnya.” celetuknya antusias. Keingintahuannya cukup besar, terlebih lagi lawan bicaranya seperti karakter Conan dalam manga.
Minho menimbang-nimbang sejenak. Awalnya ia tak ingin membuka diri lebih jauh, namun warna cerah Victoria telah memikatnya lebih jauh. Ia kalah telak. “Orang berkarakter dengan warna cerah umumnya disenangi banyak orang,” Minho memulai ceritanya, “seandainya Seonsaengnim senang melihat seseorang meskipun orang itu sedang marah, kemungkinan karakternya cerah. Orang yang berkarakter dengan warna hijau memiliki kepribadian yang tenang. Kontrol emosinya bagus dalam segala situasi. Lalu untuk warna merah…,” Minho berhenti, terlihat ragu untuk mengatakannya.
“Kenapa berhenti?” kedua alis Victoria mengernyit. Apa yang salah dengan warna merah?
Minho menghela nafas sejenak. Ia mendesah pelan lalu berkata, “Mereka karakter pemberani dan pantang menyerah. Mereka punya suatu kekuatan yang terkadang sulit diduga. Pribadi mereka kuat, buruk dalam kontrol emosi, dan mudah berubah. Jika warna suasana hati mereka sedang baik, mereka bisa menyaingi orang-orang yang berkarakter cerah. Namun, jika suasana hati mereka sedang buruk, warna mereka akan berubah padam. Dan jika itu terjadi, jangan dekati mereka meski kita memiliki sebuah lelucon yang terkonyol sekalipun.” paparnya panjang lebar. Ia rasa cukup sekian. Selain ketiga warna itu masih banyak karakter lain, namun untuk saat ini pengalamannya baru sebatas itu.
Cerita yang menarik, pikir Victoria. “Lalu kau sendiri bagaimana?”
Minho meletakkan sendok dan garpunya. Ia menatap Victoria lekat-lekat. “Apakah setelah mendengar penjelasan tadi anda percaya pada kata-kataku?”
Victoria mengangguk.
“Apakah setelah mendengar peringatanku di dekat toilet tadi ada sesuatu yang merasuk ke pikiran anda?”
Sekali lagi Victoria mengangguk.
“Apakah gaya bicaraku terkesan dewasa seolah aku sudah berumur lebih dari 20 tahun?
Untuk ketiga kalinya Victoria mengangguk.
“Warnaku hijau, selain itu sepertinya tak perlu kukatakan. Mungkin Seonsaengnim sendiri sudah tahu apa jawabannya,” ujar Minho sambil tersenyum tipis. Kali ini mimik anak-anak terlihat di raut wajahnya meski cara bicara anak itu masih jauh melampaui kemampuan seorang bocah.
Benar, Victoria sudah menemukan jawabannya. Anak ini memang punya suatu kemampuan istimewa yang umum dikenal dengan ‘indigo’. Dan kelebihan utamanya ada pada kecerdasan dan kemampuan bicaranya yang memiliki aura khas dan kuat−yang membuat seseorang dengan mudah percaya dengan kata-katanya tanpa melihat mereka sedang bicara dengan sorang anak TK. Tidak, ada satu lagi, mata anak itu juga memiliki suatu keunikan.
“Hei, saat di toilet tadi sebenarnya apa yang aku lihat?” tanya Victoria, ingin melengkapi keingintahuannya.
Minho menggeleng. “Terkesan gelap. Kurasa penunggu sekolah ini ada di sana. Tidak baik jika kita mengusiknya.”
Victoria mengangguk. Sedikit menggali ingatannya tentang dunia spiritual, setiap sekolah memang memiliki cerita hantunya masing-masing. Jika ditelaah kembali, ada benarnya juga yang dikatakan Minho. Sebaiknya ia tak lagi mencari masalah.
-Flashback End-
***
Minho menyenderkan punggungnya pada bangku panjang di halaman belakang sekolah. Sesekali ekor matanya melirik pada makhluk berkuncir dua yang bungkam ibarat batu di sampingnya−Kim Yong Sang. Gadis itu masih tenggelam dalam trauma psikis yang dialaminya tadi pagi. Menyakitkan memang ketika melihat reaksi anak-anak yang menganggapnya tak memiliki seorang ibu.
“Sudahlah, Yong Sang-ah.” Minho menepuk pundak Yong Sang. Apa yang bisa ia lakukan kali ini? Ia sulit untuk merangkai kata-kata mengingat pemahaman Yong Sang menanggapi pembicaraan masih terlalu sederhana, tak sepertinya. Aura tubuh anak itu tidak sedang padam saat ini, melainkan berubah suram dan tertekan, itu artinya ia masih bisa diajak bicara meski dengan kata-kata yang agak rumit.
“Tadi aku sempat bicara dengan Umma-mu.” ucap Minho datar, membuat Yong Sang menoleh sedikit ke arahnya. Kedua matanya merah dan sembab. Entah berapa lama ia menangis sejak tadi.
“Apa yang kau katakan?” tanya Yong Sang parau, terdengar sangat sulit untuk mengeluarkan suaranya.
“Aku menceritakan semuanya. Bagaimana sejak awal anak-anak memandangmu sebagai anak yang tidak mempunyai ibu,” papar Minho, membuat Yong Sang kembali tertunduk. “Kau tahu, ibumu menangis setelah aku selesai bercerita.”
“Jinccayo?” kali ini Yong Sang menatap Minho lekat-lekat, mencari-cari kebenaran di sorot matanya.
“Seburuk apapun kau menilai ibumu, dilubuk hatinya dia pasti sangat menyayangimu. Mungkin kalian hanya butuh waktu lebih lama untuk saling memahami,” jelas Minho, kembali dengan gaya bicara orang dewasanya.
Bibir bagian bawah Yong Sang kembali bergetar. Cairan bening mengalir lagi dari sudut matanya. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Jujur, ia marah, sangat marah. Namun hati kecilnya sangat ingin untuk memeluk Hyora dan membiarkan wanita itu mendekapnya hangat.
“Jangan menangis lagi,” Minho menepuk pundak Yong Sang, lagi. Karakter gadis kecil itu sama sekali tak berbeda dengan Hyora. Ibu dan anak itu sama-sama memiliki kharakter berwarna merah yang diselimuti keangkuhannya masing-masing. Sangat berbeda dari Jonghyun yang berkarakter cerah dan hangat.
***
Langkah Minho terhenti ketika sepasang kaki menghadangnya. Cerah, kata itu memenuhi pikirannya. Perlahan ia mendongak. Kedua matanya membulat saat melihat pemilik sepasang kaki itu adalah seorang wanita yang kemarin dikenalnya kikuk dan sibuk menyalahkan dirinya sendiri, Kim Hyora. Yeoja itu tak sendiri, ia ditemani Jonghyun dan Yong Sang yang terlihat sibuk bercanda di sampingnya.
“Kau, Choi Minho, bukan?” tanya Hyora, sedikit ragu.
“Ne. Annyeong haseyo!” Minho tersenyum, tak lupa menyapa Hyora sambil membungkuk hormat.
“Annyeong haseyo!” Hyora membalasnya dengan anggukan kecil. Perubahan karakternya menunjukkan wanita itu sedang bahagia saat ini.
“Kau kenal Minho?” tanya Jonghyun polos, diikuti Yong Sang yang menatap Hyora dengan kedua mata membulat.
“Err, iya, kemarin kami sempat bertemu,” jawab Hyora kikuk.
Seorang yeoja mendekat ke arah mereka. Ia tampak kerepotan dengan ponsel, dan tas tangannya. Langkahnya terlihat agak terburu-buru. Wanita itu ummaMinho. Meski tergesa-gesa, namun raut wajahnya tetap terkesan anggun. Sekilas ia terkejut ketika pandangannya beradu dengan Hyora.
“Ah, kau umma-nya Yong Sang? Neomu yeppeo!” sapanya spontan, namun terdengar ramah.
“Gomawo,” Hyora tersenyum kecil.
Di tengah tingkah Hyora yang masih canggung, sikap Jonghyun yang terus memamerkan senyumnya, dan kelakuan Yong Sang yang lincah, bocah kecil yang mencuri perhatian Hyora−Minho, tengah memperhatikan mereka. Ketiga makhluk berkarakter itu tampak cerah, seolah menemukan arti kata keluarga dalam hidup mereka. Di balik semua kesenjangan yang terjadi, ternyata mereka memiliki keharmonisan tersendiri. Mereka memiliki cara untuk menikmati hal istimewa meski itu mungkin tak bertahan lama.
***
Minho membuka gagang pintu mobilnya. Ia menyandarkan punggungnya yang terasa agak kaku pada bantalan empuk di tempat duduknya. Di sampingnya, sang Ibu−Nyonya Choi−menatapnya tersenyum sambil memegang gagang stir.
“Kau lelah, Sayang?” tanya Nyonya Choi perhatian.
“Ne, Umma. Aku benci matematika!” desahnya sambil memejamkan kedua matanya, menikmati suasana sejuk dari AC yang terpasang di sudut kiri mobilnya. “Oh ya, Yong Sang dan keluarganya..,”
“Ada apa dengan mereka? Kau lihat sesuatu?” tanya Nyonya Choi, mulai berkonsentrasi dengan pekerjaannya−menyetir.
“Mollayo. Mereka unik, dan entah kenapa aku merasa mereka akan dihadapkan pada suatu persoalan yang besar nanti,” papar Minho. Alisnya mengerut meski kedua kelopak matanya masih terpejam dengan sempurna.
Nyonya Choi tertawa kecil. “Jangan terlalu dipikirkan. Jika memang seperti itu, biarkan mereka menjalaninya. Mungkin Tuhan memiliki rencana lain dibalik itu semua. Yang pasti kau jangan terlalu banyak ikut campur. Ingat usiamu, Sayang.” jelas Nyonya Choi bijaksana. Ia mungkin tak punya kelebihan istimewa seperti Minho atau kharakter khusus layaknya orang-orang yang menarik perhatian putranya. Namun setidaknya ia bisa berperan di belakang layar dan mengawasi Minho agar tak melakukan hal yang masih jauh dari perannya sebagai anak-anak.
Minho membuka matanya perlahan. Bulatan-bulatan kiluan cahaya yang menembus kaca mobil membuat kedua kelopak matanya menyipit. Ia menghela nafas pelan, mencari-cari sebuah gagasan baru yang masih berwujud suatu angan yang berlum terbentuk dengan sempurna.
Lalu setelah ini, apa yang akan ia lakukan? Tubuhnya masih terlalu kecil untuk melangkah terlalu jauh. Sementara pikirannya masih terlalu dangkal untuk mengambil sebuah keputusan yang berarti. Lebih baik menjalaninya seperti kebanyakan orang dan menunggu hingga ada tugas yang memanggilnya.
-FIN-